Tampilkan postingan dengan label UU No. 12 tahun 2006. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UU No. 12 tahun 2006. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Oktober 2013

Hak asuh anak perkawinan campuran

kutipan dari tabloid reformata online
Mengenai anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran, dahulu diatur berdasarkan UU       No. 62 tahun 1958 (sekarang sudah digantikan dengan UU No. 12 tahun 2006).
Dahulu (berdasarkan UU No. 62 tahun 1958), anak yang dilahirkan dari perkawinan campur antara laki-laki warga negara asing dengan perempuan berwarga negara Indonesia, maka anak yang dilahirkan akan mengikuti hukum ayahnya. Demikian pula bila anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran antara laki-laki warga negara Indonesia dengan wanita warga negara asing, maka anak yang dilahirkan akan mengikuti hukum ayahnya yang warga negara Indonesia.
Sedangkan berdasarkan UU No. 12 tahun 2006, maka seorang anak yang dilahirkan berdasarkan perkawinan campuran – dengan tidak memandang apakah ayah atau ibunya yang warga negara asing – dengan demikian anak tersebut dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Namun pada saat berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Sedangkan yang berkaitan dengan harta kekayaan, hal itu sangat bergantung kepada sah atau tidaknya perkawinan campuran itu sendiri.
Dalam hal perkawinan campuran dianggap sah berdasarkan UU No. 1 tahun 1974, maka pembagian harta kekayaan (bila terjadi perceraian) akan dilakukan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 itu sendiri, demikian pula dengan proses perceraian.
Perceraian yang akan dilakukan oleh pasangan dari perkawinan yang beragama Islam, dilakukan dihadapan Pengadilan Agama setempat di mana pasangan tersebut bertempat tinggal, sedangkan yang beragama di luar Islam dilakukan dihadapan Pengadilan Negeri setempat di mana pasangan tersebut bertempat tinggal.
Perlu dicatat di sini, bahwa Indonesia tidak dapat mengesahkan perkawinan campuran yang berbeda agama, karena Indonesia menganut sistem bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut.
Mengenai pembagian harta dalam perkawinan campuran, dapat dilakukan hanya terhadap harta bersama (harta yang di dapat selama perkawinan).
Harta bawaan adalah tetap dikuasai oleh masing-masing pihak, kecuali sebelum perkawinan campuran dilakukan, kedua belah pihak membuat dan menanda tangani suatu Perjanjian Pisah Harta.