kutipan dari tabloid reformata online
Mengenai anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran, dahulu diatur
berdasarkan UU No. 62 tahun 1958 (sekarang sudah digantikan dengan
UU No. 12 tahun 2006).
Dahulu (berdasarkan UU No. 62 tahun 1958),
anak yang dilahirkan dari perkawinan campur antara laki-laki warga
negara asing dengan perempuan berwarga negara Indonesia, maka anak yang
dilahirkan akan mengikuti hukum ayahnya. Demikian pula bila anak yang
dilahirkan dari perkawinan campuran antara laki-laki warga negara
Indonesia dengan wanita warga negara asing, maka anak yang dilahirkan
akan mengikuti hukum ayahnya yang warga negara Indonesia.
Sedangkan
berdasarkan UU No. 12 tahun 2006, maka seorang anak yang dilahirkan
berdasarkan perkawinan campuran – dengan tidak memandang apakah ayah
atau ibunya yang warga negara asing – dengan demikian anak tersebut
dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Namun pada saat berusia 18 tahun
atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
Sedangkan yang berkaitan dengan harta kekayaan,
hal itu sangat bergantung kepada sah atau tidaknya perkawinan campuran
itu sendiri.
Dalam hal perkawinan campuran dianggap sah berdasarkan
UU No. 1 tahun 1974, maka pembagian harta kekayaan (bila terjadi
perceraian) akan dilakukan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 itu sendiri,
demikian pula dengan proses perceraian.
Perceraian yang akan
dilakukan oleh pasangan dari perkawinan yang beragama Islam, dilakukan
dihadapan Pengadilan Agama setempat di mana pasangan tersebut bertempat
tinggal, sedangkan yang beragama di luar Islam dilakukan dihadapan
Pengadilan Negeri setempat di mana pasangan tersebut bertempat tinggal.
Perlu
dicatat di sini, bahwa Indonesia tidak dapat mengesahkan perkawinan
campuran yang berbeda agama, karena Indonesia menganut sistem bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan yang dianut.
Mengenai pembagian harta dalam
perkawinan campuran, dapat dilakukan hanya terhadap harta bersama (harta
yang di dapat selama perkawinan).
Harta bawaan adalah tetap
dikuasai oleh masing-masing pihak, kecuali sebelum perkawinan campuran
dilakukan, kedua belah pihak membuat dan menanda tangani suatu
Perjanjian Pisah Harta.